Penulis: Suprihno, M.Pd (Ketua KPU Kab.Tulungagung)

Mengawali tulisan ini, Karena masih bulan syawal tidak afdol rasanya kalau tidak kami sampaikan Taqobalallahu minna wa mingkum, taqobal ya karim, Mohon maaf lahir dan batin Selamat Hari Raya Idul Fiti 1436 H. Alhamdulillah jumpa lagi kita dengan diskusi Mingguan semoga forum ini menjadi wahana silaturohmi dan mengasah ide-ide yang terpendam sehingga ide-ide itu muncul bak berlian yang mampu memancarkan cayahnya sekalipun di dasar lautan.

Senin malam, 3 Agustus 2015, KPU Pusat Akhirnya mengumumkan hasil pendaftaran pasangan calon pilkada serentah tahun 2015, bahwa ada tujuh daerah dengan pasangan calon kurang dari dua atau calon tunggal. tujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Kota Surabaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Pacitan di Jawa Timur, Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), Kota Samarinda di Kalimantan Timur, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dan Diperintahkan tujuh daerah yang pendaftar pasangan calonnya kurang dari dua untuk mengambil langkah-langkah penundaan pilkada dengan merujuk peraturan PKPU Nomor 12 Tahun 2015. Menurut Husni Kamil Manik “Satu daerah yaitu Kota Surabaya memang menjelang pendaftaran di tutup ada yang mendaftar, tapi dari informasi yang kami peroleh terakhir, pendaftarnya menyatakan mengundurkan diri,”

Ada kejadian menarik di KPU Kota Surabaya pada saat detik-detik terakhir pendaftaran pasangan calon Walikota Surabaya, Dhimam Abror – Haris Purwoko yang di usung oleh Partai Demokrat dan PAN, dalam proses pendaftaran tiba-tiba Haris yang sebagai calon wakil walikota menghilang, padahal belum menandatangai berkas pencalonan. Bahkab Harian Jawa Pos, Selasa 4 Agustus 2015 menjadikan judul Headline DIKIRA KE TOILET BAKAL CALON KABUR, Akhirnya setelah di tunggu sampai pukul 24.00 WIB juga tidak muncul pendaftaran pasangan calon tersebut di nyatakan tidak sah.

Ada banyak spekulasi yang muncul terkait pengunduran diri Haris, Salah satunya pengakuan Haris bahwa dirinya malu Sebagai Calon BONEKA, “tahun 2017 saya akan maju beneran bukan sebagai calon Boneka”. Akan tetapi kabar yang lebih hangat adalah kesepakatan Elite partai untuk saling menjadikan calon di daerah dengan calon tunggal gagal terlaksana, yaitu di Pacitan dengan calon Indartato (Bupati incumbent). dan Blitar dengan calon tunggal M. Riyanto (wkl. Bupati Incambent), pasalnya PDIP harus mengusung calon di Pacitan dan Partai Demokrat harus mengusung calon di Surabaya, dan Kab. Blitar. Karena di Pacitan PDIP sebagai motor pengerak gabungan partai gagal mengusung calon maka di Surabaya dan di Blitar akhinyaharus gagal pula.

Undang-undang (UU) Pemilu No. 8 tahun 2015 mengisyaratkan minimal pasangan yang ikut dalam Pilakada harus dua calon baru pemilihan bisa dilangsungkan. Kalau tidak terpenuhi maka Pilkada di daerah tersebut diundur pada Pilkada berikutnya. Masalahnya tak seringan membalik telapak tangan tentunya. Pasangan yang sudah mendaftar sudah mempersiapkan diri tentunya jauh-jauh hari. KPU juga sudah mengeluarkan dana besar untuk proses tahapan sampai ke tahapan pendaftaran calon. Biaya sosialisai, pendaftaran calon pemilih, dan persiapan lainnya.

Grand desain menjadikan Pemilu di Indonesia hanya ada dua pemilu yaitu pemilu legeslatif bersama pemilu presiden pada tahun 2019 dan pemilu kepala daerah (pilkada); gubernur, bupati dan walikota 2027. Untuk menghantarkan kepala pilkada bersama perlu tahapan pilkada serentak beberapa tahun pada beberapa daerah karena masa jabatan gubernur, bupati dan walikota yang tidak sama. Pilkada serentak tersebut akan dilaksanakan pada tahun 2015, 2017, dan 2018 kemudian dilanjutkan pada tahun 2020, 2022 dan 2023, dan pilkada secara nasional tahun 2027, atas kondisi tersebut maka ada masa jabatan yang lebih, dan ada masa jabatan yang di kurangi.

Pilkada tahun 2015 ini di ikuti oleh 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten, total ada 269 Pilkada, setelah dilakukan pendaftaran hingga masa perpanjangan terdapat 7 daerah dengan calon tunggal, KPU memutuskan untuk menunda pelaksanaan pilkada hingga tahun 2017, sedangan pihak DPR mendorong Pemerintah untuk menerbitkan perpu hingga 7 daerah dengan calon tunggal tetap dapat melaksanakan pilkada, sehingga tidak terjadi kekosongan kepemimpinan yang lama dan mengakibatkan terhambatnya pembanguanan di daerah tersebut.

Menarik untuk di kaji bagaimana bisa 7 daerah hanya ada calon tunggal, bagaimana dengan Kota Surabaya dengan penduduk 2 Juta jiwa lebih, tidak ada yang mau dan berani mendaftarkan diri untuk menjadi calon walikota? Apalah sudah tidak ada orang pintar dan baik yang mau mengabdi untuk pembangunan kota Surabaya ? Apakah jabatan Bupati, Wali kota sudah tidak menarik lagi? Tentu banyak yang akan menjawab banyak orang pintar, banyak orang baik dan terkenal tetapi tidak kaya. Dan sudah menjadi rahasia umum untuk menjadi bupati atau walikota butuh modal dana yang cukup banyak, Sehingga tidak cukup nyali untuk mencalonkan diri menjadi bupati dan wali kota. Atau pula takut dengan resiko setelah menjadi bupati, wali kota akan terkena kasus korupsi, dan kriminalisasi oleh lawan-lawan politik.

Menurut penulis calon tunggal yang terjadi di beberapa daerah ada beberapa kemungkinan Pertama, keberhasilan kepada daerah dalam memimpin daerah dan mensejahterakan rakyat sehingga mengakibatkan kuatnya kepercayaan rakyat terhadap kepala daerah tersebut, dan hampir dipastikan tidak ada saingan yang dapat menandingi. Kedua, kuatnya kekuasaan yang dimiliki seorang kepala daerah karena menyangkut politik anggaran dan birokrasi sehingga tidak menemukan lawan yang melampaui kekuatan tersebut. Ketiga kuatnya politik dinasti, dimana keluarga menguasai pemerintahan dan sector-sector usaha, sehingga tidak ada yang mampu menandingi termasuk dalam hal menguasai kekuatan-kekuatan politik.

Penguasaan Kekuasaan oleh segelintir orang, atau pada kerabat atau keturunannya dan apabila ini berkelanjutan terus menerus, akan muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai untuk kaderisasi dan mencetak pemimpin tidak akan tercapai, sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan calon untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga atau bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Dari 269 daerah yang mengadakan pilkada 146 petahana maju kembali dalam pemilihan di daerah yang sama,tidak semua petahana memiliki elektabilitas yang baik bahkan mendapat dukungan dari kuat masyarakat sehingga memunculkan calon bupati/walikota yang tidak hanya dua bahkan 3 – 4 pasangan calon, akan tetapi terdapat indikasi di beberapa daerah karena dianggap petahana terlalu kuat mereka (baca ; Petahana) sudah mengantisipasi agar pilkada tidak di tunda dengan calon tunggal di bentuklah CALON BONEKA, dimana pasangan calon di daftarkan hanya untuk memenuhi tuntutan formalitas aturan dan undang-undang, dan sudah di pastikan akan kalah dalam pemilihan. Secara prosdural bagi KPU tidak ada istilah Calon Boneka, semua pasangan calon yang mendaftar di KPU di anggap sah apabila sudah memenuhi persyaratan.

Pemilu di Amerika Serikat, yang tentunya sudah dikenali sebagai Negara Bapak Demokrasi Dunia, jika terjadi hanya ada satu calon dalam pemilu, maka yang satu itu menjadi pemenangnya. Disebut “Work Over” alias menang telak. Sedang di Kanada disebut “Aclamation” (aklamasi). Oleh karenanya jika terjadi calon tunggal langsung di anggap sebagai pemenangnya. Sehingga dalam kasus calon tunggal ini DPR mendesak pemerintah dan Presiden Jokowi agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perrpu) yang mengatur solusi calon tunggal dengan memenangkannya, karena tidak mungkin membuat lawan dengan Kotak Kososng, sebagai mana pilkades, karena didalam UU desa pun sudah tidak diperblehkan pilkades dengan bumbong kososng. Perpu ini kedepan akan mampu menantisipasi kemunculan calon boneka. Sekjen JPPR, Masykuruddin Hafidz mengingatkan calon boneka mengurangi kualitas demokrasi di tingkat daerah (lokal). Buruk sekali tentunya perilaku dan moralitas manusia yang mau dijadikan boneka ini, karena dia tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat akan tetapi mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok. Pertanyaannya bagaimana Nasib Demokrasi dengan Pilkada calon Boneka, bisa jadi nanti akan muncul calon presiden boneka juga.. Selamat Berdiskusi.

(Tulisan ini di buat, tanggal 3 Agustus 2015 Malam, untuk materi diskusi mingguan dalam sebuah Forum Whatsapp atau biasa kita sebut WA.)