Oleh: Suprihno
(Ketua KPU Kabupaten Tulungagung, Divisi Perencanaan & Data)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017 telah berlalu. Secara umum dapat dirasakan telah berlangsung dengan sukses, aman dan damai. Beberapa daerah menyisakan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya tentu menunggu putusan dan/atau penetapan MK. Sementara 1 daerah lainnya harus dilalui dengan putaran ke-2, yakni DKI Jakarta.
Meski terbilang sukses, KPU sebagai penyelenggara tentu masih banyak pekerjaan yang harus diperbaiki, untuk persiapan pilkada serentak gelombang ke-3 tahun 2018 dan pemilu nasional 2019. Salah satu catatan menarik disini adalah fenomena berlebihnya (over) partisipasi penyandang disabilitas (difable).
Data KPU hasil scanning secara nasional menunjukkan jumlah partisipasi difable mencapai 257 %, dengan rata-rata partisipasi pemilih difable untuk Provinsi 205,45 %, Kota 99,83 %, dan Kabupaten 257,78%. Contah peringkat drastis pemilih difable antara lain: Kabupaten Sorong DPT difable terdaftar 17 pemilih, mencoblos di TPS 2.181 pemilih (partisipasi 12.829 %). Kabupaten Buru DPT difable terdaftar 105 pemilih, nyoblos di TPS 2.205 pemilih (partisipasi 2.100 %). Provinsi Aceh terdaftar DPT difable 2.842 pemilih, nyoblos di TPS 27.551 pemilih (partisipasi 968 %). (Jawa Pos, Senin, 27/02/2017).
Kenapa “seakan-akan” terjadi over partisipasi pemilih penyandang disabilitas? Apakah dampaknya akan menyebabkan kekurangan logistik (semisal surat suara) di TPS? Tentu jawabnya tidak.
Karena pemilih difable sebenarnya juga terdatar didalam DPT, namun oleh PPDP (petugas pemutakhiran data pemilih) tidak dicatat/digolongkan sebagai pemilih difable. Dengan kata lain, mereka masih “tersamar” sebagai pemilih umum, bukan pemilih difable. keberadaan mereka sebagai difable “baru” diketahui saat menggunakan hak pilihnya di TPS. Pada saat pencoblosan, petugas KPPS terpaksa memberi keterangan pemilih difable, karena memang secara fisik pemilih tersebut di kategorikan sebagai pemilih difable. Akibatnya, sudah pasti pencatatan pemilih difable pada saat pemungutan suara melebihi pemilih yang terdaftar dalam DPT sebagai pemilih difable.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan over partisipasi pemilih difable ini. Pertama, pendataan PPDP yang kurang cermat. Hal ini terjadi karena pada saat PPDP melakukan coklit dari rumah-kerumah, tidak semua anggota keluarga di masyarakat tersebut bisa ditemui. Sehingga hanya perwakilan keluarga dan mencatat berdasarkan keterangan yang diberikan oleh perwakilan keluarga tersebut. Kedua, kurang terbukanya masyarakat terhadap anggota keluarga difable. Hal ini mungkin karena masyarakat masih menganggap bahwa keberadaan anggota keluarga difable merupakan aib yang harus ditutupi. Ketiga, terdapat masyarakat yang sebelumnya normal, namun karena sesuatu hal (misalnya kecelakaan atau sakit), mereka menjadi difable. Yang bersangkutan tidak mau disebut sebagai difable.
Melihat dari beberapa penyebab over partisipasi penyandang disabilitas tersebut, maka untuk menhindari hal itu terjadi lagi dalam pilkada serentak 2018 dan pemilu-pemilu selanjutnya, menurut penulis kiranya perlu di lakukan beberpa hal.
Pertama, meningkatkan kualitas petugas PPDP melalui pelatihan dan perhatian khusus terhadap penyandang difable, sehingga pada saat PPDP melakukan coklit mampu memperoleh data yang akurat dari masyarakat. Kedua, mengajak masyarakat untuk terbuka memberikan perhatian khusus terhadap penyandang difable. Memberikan pengertian bahwa difable bukanlah sesuatu yang harus ditutupi akan tetapi diberi perhatian yang lebih agar mereka memperoleh hak yang sama. Ketiga, melibatkan difable dalam penyelenggaran pemilu baik sebagai petugas atau menjadi pemilih aktif yang ikut mendorong terselengaranya pemilu dengan baik dan ramah disabilitas. Semoga problem over partisipasi pemilih disabilitas dapat dikurangi atau bahkan tidak terjadi lagi dalam pilkada 2018 dan pemilu-pemilu yang akan datang. (YES/ARM)