Seorang penyandang disabilitas Aceng (40) menerima surat suara menggunakan mulutnya untuk memberikan hak suaranya pada Pemilu 2014 di Kelurahan Girimargo, Wonosobo, Jateng, Rabu (9/4). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Seorang penyandang disabilitas Aceng (40) menerima surat suara menggunakan mulutnya untuk memberikan hak suaranya pada Pemilu 2014 di Kelurahan Girimargo, Wonosobo, Jateng, Rabu (9/4). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Penulis : Suprihno

Belum genap tiga tahun pesta demokrasi kita rasakan, namun hiruk-pikuk pemilu 2019 sudah sangat terasa saat ini. Bisa jadi karena pemilu 2019 nanti lain daripada pemilu-pemilu sebelumnya, yakni dilaksanakan serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Hiruk-pikuk itu semakin terasa di gedung parlemen, karena di sanalah saat ini sedang dibahas Rancangan Undang–Undang (RUU) pemilu. Tiga UU kepemiluan yang semula berdiri sendiri, akan digabungkan. Yakni undang-undang tentang peyelenggara pemilu (UU Nomor 15 Tahun 2011), undang-undag tentang pemilu DPR, DPD dan DPRD ( UU Nomor 8 Tahun 2012), dan undang-undang tentang pemilu presiden dan wakil presiden (UU Nomor 42 Tahun 2008).

DPR dan pemerintah telah menargetkan pembahasan RUU pemilu itu selesai bulan Mei 2017,  karena tahapan pemilu akan dimulai bulan Juni 2017. Sejauh ini, beberapa isu krusial yang santer di bahas antara lain: Pertama, sistem pemilu: apakah menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup. Kedua, ambang batas parlemen atau parlementary threshold: apakah 3,5% atau dinaikkan. Ketiga, penentuan daerah pemilihan: tetap atau berubah. Keempat, konversi suara menjadi kursi: bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi agar suara rakyat tidak banyak yang hilang. Kelima, Syarat dukungan calon presiden: berapa minimal dukungan calon presiden, dan beberapa isu lainnya.

Dari sekian diskursus RUU pemilu, tampaknya belum mengemuka wacana bagaimana memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyelenggara pemilu untuk memberikan fasilitas dan layanan kepada penyandang disabilitas, sebagimana telah diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 13 UU Nomor 8 tahun 2016 yang mengatur Hak Politik penyandang Disabilitas menyatakan: “Hak politik untuk penyandang disabilitas meliputi hak: point (a). memilih dan dipilih dalam jabatan publik; Point (f). berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; point (g). memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan  pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota,  dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan Point (h). memperoleh pendidikan politik.

Berikut beberapa regulasi Pemilu terkait dengan penyandang Disabilitas:

  • UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
    1. Pasal 11: Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kab/Kota adalah (h) sehat jasmani dan rohani. Penjelasan (h). Cacat tubuh tidak termasuk gangguan kesehatan.
    2. Pasal 85: Syarat untuk menjadi calon anggota BAWASLU, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kab/Kota, dan Panwaslu Kecamatan, serta Pengawas Pemilu lapangan adalah (h) sehat jasmani dan rohani. Penjelasan (h). Cacat tubuh tidak termasuk kategori tidak sehat jasmani dan rohani.
  • UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
    1. Pasal 51:
      ayat (1). Persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota: (d) cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Penjelasan (d). Persyaratan sebagaimana tercantum dlam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD Kab/Kota (e) berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau bentuk lain yang sederajat. Penjelasan (e). Yang dimaksud dengan bentuk lain yang sederajat antara lain: Sekolah Atas Luar Biasa (SMLB), Pondok Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Teologi Kristen, Sekolah Seminari (h) sehat jasmani dan rohani. Penjelasan (h). Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah sehat yang dibuktikan.
      ayat (2). Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD Prop dan DPRD Kab/Kota: (d) surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani Penjelasan (d). Persyratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD Kab/kota.
    2. Pasal 68:
      ayat (2). Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD dibutkikan dengan (d) surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani, Penjelasan (d). Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPD.
    3. Pasal 142:
      ayat (2) selain perlengkapan pemungutan suara sebagaiman dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya. Penjelasan (2). Yang dimaksud dengan ”dukungan perlengkapan pemungutan suara lainnya” meliputi sampul kertas tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan dan alat bantu tuna netra.
    4. Pasal 157:
      ayat (1). Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
    5. Pasal 164:
      ayat (1). Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
  • UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
    1. Pasal 105:
      ayat (2). Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasian dan kelancaran pelaksanan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya (didalam bagian penjelasannya dikatakan antara lain: ”alat bantu tunanetra”
    2. Pasal 119:
      Pada saat memberikan suaranya di TPS, pemilih tunanetra, tunadaksa dan atau yang mempunyai halangan fisik lain dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

Melihat dari ketiga undang-undang tersebut, tampak bahwa pemenuhan dasar hukum tentang hak politik penyandang disabilitas telah terpenuhi, yaitu:

Pertama, hak untuk menduduki jabatan publik. Dalam Undang-undang penyelengara pemilu tidak ada pengecualian bagi penyandang disabilitas untuk mencalonkan diri menjadi anggota KPU ataupun anggota Bawaslu di semua tingkatan. Sebagaimana tertuang dalam pasal 11 dan Pasal 85 UU nomor 15 Tahun 2011, undang-undang ini menjamin penyandang disabilitas untuk mencalonkan diri menjadi anggota KPU atau Bawaslu.

Kedua, hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD, DPRD. Pada pasal  51 UU Nomor 10 Tahun 2008,  cakap berbicara dan menulis tidak dimaksudkan untuk menghalangi penyandang disabilitas, dengan catatan bahwa penyandang disabilitas akan mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

Dan ketiga, Hak untuk memberikan Hak pilih atau memilih. Penyelengara pemilu berkewajiban penuh untuk menjamin dan memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam memberikan hak suaranya.

Kita berharap meski isu disabilitas dalam RUU pemilu tidak menjadi diskursus yang menarik untuk dibahas, akan tetapi hak politik dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 terwadahi pula dalam kodifikasi UU pemilu yang baru nantinya, sehingga menjadi kesepakan semua pihak untuk sama-sama memberikan ruang yang lebih kepada penyandang disabilitas agar mampu memberikan yang terbaik untuk bangsa ini. Semoga.