Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, disebutkan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi penyelenggara pemilu, kepala daerah, anggota parlemen, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta calon presiden dan calon wakil presiden yakni sehat jasmani dan rohani. Aturan ini dinilai diskriminatif oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) sehingga perlu dihilangkan atau diganti dengan frase sehat tanpa kata jasmani dan rohani.

Ketua Umum PPDI, Gufroni Sakaril, menjelaskan bahwa kalangan medis masih menganggap seseorang dengan disabilitas adalah orang sakit. Padahal, disabilitas tak sama dengan sakit.

“Substansi sehat jasmani dan rohani ini sudah lama jadi aturan yang diskrimnatif. Di kalangan medis sendiri dianggapnya penyakit, padahal ini adalah given. Tidak ada yang mau jadi disabilitas,” tegas Gufron, pada rapat dengar pendapat di Senayan, Jakarta Selatan (16/2).

Gufron juga meminta agar frase cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia yang dimuat dalam Pasal 152 dan Pasal 209 diganti dengan frase dapat berkomunikasi dengan baik. Apabila tak diubah, kedua pasal ini mendiskriminasi warga negara Indonesia dengan disabilitas rungu dan disabilitas wicara.

“Bagaimana dengan teman-teman tuna rungu dan tuna wicara? Masa mereka disuruh ngomong? Jadi, tolong diubah. Komunikasi kan bukan hanya verbal, tapi juga non verbal. Mereka bisa menggunakan bahasa isyarat untuk mengekspresikan idenya,” jelas Gufron.

Anggota Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu menyambut baik usulan dari PPDI, meskipun tidak memberikan jawaban pasti bahwa usulan akan dikabulkan. Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Agung Widiantoro, mengatakan, “Bukan kami ingin membeda-bedakan, tapi soal medis, itu tanggung jawab profesional dokter untuk menilai apakah seseorang sehat atau sakit.“

Penulis : AMALIA SALABI
Sumber : rumahpemilu.org