Suprihno, M.Pd

Penulis: Suprihno, M.Pd (Ketua KPU Kab.Tulungagung)

Salah satu indikator keberhasilan dan kesuksesan pemilu adalah tersusunnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akurat, tepat dan akuntabel, dalam artian seluruh warga negara yang memiliki hak pilih terjamin hak konstitusinya terdaftar dalam DPT dan mereka yang sudah tidak memiliki hak pilih pun sudah dibersihkan dari DPT. Akurasi penyusunan DPT ini sangat penting karena DPT akan dijadikan dasar dalam pengadaan logistik pemilu, dijadikan dasar dalam menentukan jumlah surat suara, dijadikan dasar dalam menentukan jumlah TPS, pun dijadikan dasar dalam pengitungan perolehan suara dan penentuan kursi berdasarkan jumlah suara. Akan menjadi bias dan terjadi deviasi manakala DPT yang di susun tidak akurat, di satu tempat bisa jadi kelebihan surat suara di tempat lain kekurangan suara, anggaran membengkak, partisipasi menurun, orang jadi malas ke TPS karena tidak ada kepastian mendapat surat suara atau tidak, hasil pemilu di gugat disana sini dan masih banyak persoalan yang muncul akibat DPT yang tidak akurat.

Persoalan kisruh DPT sudah terjadi pada 2009 dan terjadi lagi di pemilu 2014, dimana pada saat menjelang penetapan DPT Nasional masih terdapat 65 juta nama calon pemilih yang belum jelas status datanya, atas dasar itu Bawaslu kemudian merekomendasikan penundaan penetapan DPT. KPU beserta jajarannya bekerja keras untuk membersihkan DPT dari data pemilih ganda, NIK Invalid, pemilih meninggal dunia dan pemilih tidak jelas. Penetapan daftar pemilih mengalami beberapa kali pengunduran waktu dari jadwal yang telah ditetapkan, sampai akhirnya ditetapkan pada 04 Desember 2013 dengan posisi masih belum tuntas, karena masih menyisakan persoalan pemilih ganda maupun pemilih yang belum terdaftar.

Pertanyaannya adalah mengapa data kependudukan di Kemendagri yang berasal dari data kependudukan Dispenduk Capil Kabupaten/Kota tidak ada persoalan tetapi ketika di jadikan DPT oleh KPU menjadi ruwet dan semua persoalan muncul?

Masalah DPT ini sedemikian kompleks, sehingga komitmen dan kerja keras KPU saja tidak akan cukup. Menurut hemat penulis terdapat enam (6) masalah yang terkait dengan DPT; Pertama sumber data, Kedua kewenangan penyusunan DPT, Ketiga sistem tekhnologi yang digunakan, Keempat manajemen pendataan pemilih, dan Kelima operasional. Keenam, lemahnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan DPT. Keenamnya membutuhkan langkah penyelesaian yang serius dan melibatkan banyak pihak terkait bukan hanya KPU.

Pertama, Sumber data pemilih pemilu 2014 adalah berasal dari data pemerintah dalam hal ini dari Kemnedagri dan pemerintah daerah sesuai pasal 32 UU No. 8/2012. Kemendagri menyerahkan data potensial pemilih pemilu kepada KPU, kemudian KPU mengolah data tersebut dengan melakukan sinkrosnisasi data, selanjutnya data disampaikan kepada KPU Provinsi dan kemudian diteruskan kepada KPU Kab./kota untuk dimutakhirkan. Pada saat pemutakhiran inilah, muncul berbagai persoalan ternyata banyak ditemukan, pemilih yang sudah meninggal, pemilih belum terdata, pemilih tidak memiliki identitas, pemilih tidak ditemukan alamatnya, pemilih dari daerah lain, dan pemilih ganda. Terhadap data-data tersebut PPS bersama Pantarlih melakukan pemutakhiran dan menghasilkan DPSHP (Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan). Namun tidak kemudian persoalan ini lantas selesai karena pemilih yang tidak beridentitas tentu tidak bisa masuk kedalam DPT karena sesuai UU UU No 8/2012 DPT harus memuat NIK, nama, tangal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara. Dan masalahyang lain terdapat pemilih yang terdaftar lebih dari satu di daerah yang berbeda, karena memang pemilih tersebut bekerja di daerah lain datau memiliki mobilitas yang tinggi.

Kedua, Kewenangan Penyusunan Daftar Pemilih, Menurut UU No 8/2012, adalah perpaduan dari data kependudukan yang ada di Kemendagri dan data pemilih yang ada di KPU. Perpaduan itu tidak menghasilkan data yang akurat dan siap pakai, karena masing-masing memiliki fungsi berbeda, Kemendagri bertujuan untuk pendataan jumlah penduduk, yang terus berkembang setiap saat ada kelahiran dan ada kematian, sehingga data terus bergerak dinamis, sedangkan KPU bertujuan pendataan jumlah pemilih yang sudah memenuhi syarat dan menghendaki data tetap tidak berubah-ubah.

Data kependudukan berbasis pada kartu keluarga belum mampu menjangkau semua warga negara, karena untuk mendapatkan status penduduk, masayrakat harus memenuhi banyak persyaratan dan mengikuti prosedur adminstrasi. Jangankan di desa-desa atau di kepulauan terpencil, warga perkotaan yang sudah memiliki kartu keluarga belum tentu mengupdate data setiap kali terjadi perubahan: kelahiran, kematian, kepindahan. Dilain pihak KPU mengembangkan daftar pemilih berdasar tuntutan konstitusi, bahwa setiap warga negara yang mempunyai hak pilih wajib masuk DPT, tidak peduli mereka tinggal di desa, pegunungan, kepulauan atau di perkotaan.

Dua sistem Pendataan yang sama-sama mengelola data kependudukan namun tujuannya berbeda tentu akan menghasilkan hal yang berbeda, hal inilah yang menjadi sumber masalah data pemilih. Dalam kondisi seperti itu, ada baiknya KPU membangun data pemilih sendiri, sehingga menghasilkan pemilih yang akurat atau memberikan kewenangan penyusunan daftar pemilih kepada Kemendagri.

Ketiga, sistem tekhnologi yang digunakan, Pemilu 2014 KPU mengunakan sistem informasi pendataan pemilih (disingkat: sidalih), sistem ini cukup bagus karena mampu menampung dan mengelola seluruh data pemilih se-Indonesia, dapat di akses seluruh peserta pemilu, dan masyrakat secara umum. Setiap warga negara dapat mengecek keberadaannya apakah sudah terdafatar atau belum. Akan tetapi kelemahan penerapan sistem ini belum dimbangi dengan penguatan SDM di daerah-daerah, sehingga cukup memberatkan, kedua sistem ini cukup rumit dalam aplikasinya, sehingga kedepan untuk kepentingan pemilu 2019 perlu pembenahan dengan menggunakan sistem yang lebih sederhana dan lebih mudah.

Keempat, masalah manajemen pendataan pemilih. Sudah menjadi masalah klasik dan seakan terus berulang dalam penyusunan data pemilih biasanya ditandai oleh anggaran yang belum turun pada kegiatan pendataan sudah berjalan. Pantarlih hanya memperoleh honor 1 bulan padahal kerja pantarlih mulai pemutakhiran data sampai pada penetapan DPT bisa 3 bulan lebih. Ada baiknya pendataan data pemilih ini di bentuk tim khusus di setiap desa yang bekerja mulai pemutakhiran data pemilih sampai pada penetapan daftar pemilih.

Kelima, masalah operasional di lapangan. SOP pendataaan pemilih sebetulnya sudah bagus. KPU telah memberikan petunjuk teknis dan operasional dalam hal pemutakhiran data pemilih, Artinya petugas pantarlih tinggal dilaksanakan saja di lapangan. Masalahnya, banyak petugas tidak memahami SOP karena tidak mengikuti pelatihan dan cenderung meremehkan, atau pantarlih yang sudah mahir menunjuk orang lain yang belum terlatih untuk melakukan pendaftaran pemilih. Di sini kontrol PPK dan PPS sangat menentukan.

Keenam, lemahnya partisipasi masayarakat dalam penyusunan DPT. Dari perjalan pemilu-kepemilu seringkali masyarakat bingung dan protes ke pada PPS, PPK dan KPU manakala menjelang hari pemungutan suara mereka tidak mendapat undangan memilih. Setelah ditelusuri ternyata yang bersangkutan tidak terdaftar dalam DPT. Siapa yang harus disalahkan?. Tentu kita tidak mencari kambing hitam atas persoalan tersebut, yang harus di perkuat adalah bagaimana meningkatkan peranserta masayrakat dalam penyusunan DPT, baik mengecek melalui pengumuman di RT/RW, balai desa atau di cek melalui website Sidalih, sehingga tidak lagi pemilih tidak terdaftar dalam DPT menjelang hari pemungutan suara.

Pemilu 2014 sudah kita lalui dengan sukses, walaupun dengan banyak catatan dalam hal penyusunan DPT bahkan sampai disidang MK, dunia pun mengakui bahwa perjalanan pemilu tahun 2014 sangat demokratis, dan lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Oleh karenanya tentu hal ini dapat dijadikan pelajaran guna memperbaiki penyunanan DPT 2019. Pendataan dan Penyusunan DPT harus terus berkembang karena penduduk yang menjadi obyek DPT terus berkembang, dan bergerak, semoga DPT pemilu 2019 lebih baik, tepat, akurat, dan akuntabel serta menjamin kepastian hukum setiap warga negara.