Victor Febrihandoko

Penulis: Victor Febrihandoko

Pemilihan DPR, DPD dan DPRD telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia pada tahun 2014 lalu. Bisa dikatakan secara umum KPU beserta jajarannya telah berhasil sukses menggelar pemilu legislatif 9 April 2014, paling tidak terlihat dalam tiga capaian. Capaian pertama, tentu penyelenggaran pemilu yang berjalan dengan aman, tertib dan lancar, hal ini ditunjukkan dengan apresiasi pemerintah maupun dunia internasional terhadap KPU. Kedua, terlihat dari hasil survey, yaitu tingginya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap kinerja dan netralitas KPU yang mencapai angka: 67,49% rakyat Indonesia percaya hasil perolehan suara yang diumumkan KPU, 61,3% mengaku puas terhadap kinerja KPU dan 70% percaya akan netralitas KPU (LSI;2014). Ketiga, KPU telah berhasil mengimplementasikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu utamanya terkait dengan publikasi sertifikat hasil penghitungan suara (Form C1) sehingga memudahkan masyarakat mengawasi hasil pemilu.

Pemilu merupakan pesta demokrasi, pesta dalam artian banyak elemen masyarakat yang terlibat dalam kemeriahannya. Pemilu merupakan kegiatan dengan kompleksitas tinggi. Hampir empat juta petugas di sekitar lebih dari 500 ribu TPS tersebar di seluruh wilayah Indonesia, untuk memfasilitasi pemilihan 19 ribu lebih kandidat dewan perwakilan di tingkat nasional maupun daerah.

Di tingkat nasional memperebutkan 560 kursi, di tingkat propinsi ada 2112 kursi yang diperebutkan dalam 259 daerah pemilihan, sedang ditingkat kab/kota ada 497 DPRD Kab/Kota yang masing-masing terdiri atas 20 sampai 50 anggota (tergantung populasi daerah tersebut). Untuk DPD memiliki 132 perwakilan yang terdiri dari empat orang dari masing-masing propinsi. Ini artinya bahwa setiap satu orang pemilih memperoleh empat surat suara untuk di coblos sesuai keinginannya. Yang berarti hampir 700 juta surat suara dikelola oleh KPU.

Dengan peserta pemilu sebanyak 12 partai saling berlomba untuk bisa mendudukan wakilnya diantara 560 anggota dewan perwakilan rakyat. Ditambah dengan peserta dari perwakilan daerah di tiap propinsi yang berlomba memperebutkan kursi sebanyak empat buah ditiap-tiap propinsi.

Dengan kompleksitas tinggi tersebut maka KPU sebagai penyelenggara harus mempersiapkan diri dengan baik. Tentu banyaknya kandidat tidak sebanding dengan kursi yang diperebutkan sangat terbatas, akan menimbulkan ketidakpuasan diantara calon-calon terhadap hasil pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Dalam pileg 2014 yang lalu lebih dari 700 gugatan akan keputusan KPU no. 411/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Prov. dan DPRD Kab/Kota secara nasional dalam Pemilu Tahun 2014, masuk ke Mahkamah Konstitusi. Sudah menjadi hal lumrah dalam setiap penyelenggaraan pemilu bagi yang tidak berhasil mendapatkan kursi mengklaim terjadi kecurangan dalam hal penghitungan suara.

Dalam hal logisitik pemilu, sungguh KPU mengalamai tantangan yang cukup berat. Pendisitribusian logistik ke tingkat TPS daerah terpencil maupun pulau-pulau terluar membuat KPU bekerja ekstra. Sebelum di distribusikan logistik pemilu disetting terlebih dahulu. Setting logistik pemilu legislatif juga tidak kalah merepotkan, hal ini disebabkan jenis dan jumlah formulir yang sangat banyak. Untuk formulir plano C1 terdapat 12 lembar untuk tiap tingkat pemilihan, sehingga total 48 lembar ditambah 10 lembar plano untuk DPD untuk setiap TPS. Formulir C1 dibuat rangkap 17, sampul-sampul, segel dan perlengkapan TPS lainnya yang harus tepat jumlah untuk setiap TPSnya membuat KPU juga harus teliti.

Dengan banyaknya calon anggota legislatif, berimbas pula terhadap desain surat suara yang lumayan lebar guna menampung nama-nama calon. Dimensi ukuran surat suara ini membuat banyak pemilih utamanya yang berusia lanjut menemui kesulitan membuka dan melipat kembali, ditambah dengan kebingungan mencari nama calon yang akan dipilihnya.

Bagi petugas KPPS menjadi tantangan tersendiri dalam pemenuhan administrasi pencatatan formulir-formulir yang ada di TPS. Pencatatan sertifikat hasil penghitungan suara (Form C1) yang dibuat rangkap 17 dan harus ditulis tangan, membuat petugas KPPS bekerja ekstra keras karena integritas mereka diuji dan diharapkan zero toleran terhadap kesalahan (meski jika ada kesalahan tulisan bisa segera melakukan pembetulan).

Dengan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi dan tenaga yang tidak sedikit membuat proses pada hari-H di TPS membutuhkan waktu relatif lama hingga selesainya penghitungan suara. Bahkan ada yang hingga larut malam, apalagi jika terjadi kesalahan penulisan ditambah lagi protes dari pihak saksi yang belum menguasai teknis pemungutan dan penghitungan suara (seperti 2 coblosan yaitu coblos nama calon dan coblos partai calon tersebut yang menurut saksi dicatat di kolom partai dan dan kolom calon) membuat lebih panjang proses penghitungan suara.

Mengapa proses di TPS khususnya dalam administrasi terkesan rumit? Hal ini tidak terlepas dari amanat peraturan perundang-undangan bahwa penyelenggara pemilu harus berasas antara lain kepastian hukum, tertib dan akuntabel. Sehingga apapun yang dilakukan penyelenggara pemilu harus bisa dipertanggungjawabkan, terukur dan mempunyai kepastian hukum. Sehingga dalam hal ini sumber daya manusia penyelenggara harus kompeten dan menguasai hal-hal teknis penyelenggaraan.

Ketidakpuasan calon anggota legislatif dalam penyelenggaraan pemilu lebih dikarenakan ketidaknetralan dari saksi partai politik mereka sendiri. Satu orang sebagai representasi saksi dari parpol yang didalamnya terdiri dari beberapa calon anggota legislatif, sering dimonopoli oleh salah seorang caleg saja. Sehingga akses terhadap form C-1 bagi caleg lain menjadi sulit, untuk itulah KPU sebagai penyelenggara membuat kebijakan scan C-1 dan langsung mempublikasikan secara terbuka melalui website.

Dengan berbagai permasalahan yang ada menjadikan tantangan bagi penyelenggara pemilu dalam menghadapi pemilu yang akan datang. Apalagi pada tahun 2019 nanti pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden wakil presiden. Tentunya jumlah formulir akan menjadi meningkat, pekerjaan akan menjadi lebih berat, potensi gugatan lebih besar. Diperlukan terobosan-terobosan demi memperlancar pesta demokrasi ini dengan tetap melandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang ada semisal memakai sistem e-voting. Tentu dengan e-voting pemilih tidak direpotkan dengan membuka mencoblos dan melipat surat suara, hasilnya rekap pun bisa langsung keluar hingga tidak memerlukan penghitungan suara manual. Proses pemungutan dan penghitungan di TPS tentu berjalan dengan cepat dan akurat. Namun perlu dijadikan perhatian adalah mekanisme pertanggungjawaban dari sistem tersebut beserta pengawasannya.