Instrumen dan penegakan hukum pemilu harus menjamin keadilan pemilu (electoral justice). Istilah keadilan pemilu muncul sebagai paradigma untuk menegakkan kemurnian hak pilih warga negara.
Jika hak pilih warga negara termanipulasi oleh peserta pemilu, sistem keadilan pemilu harus mampu mengembalikannya. Jika penyelenggara pemilu telah lalai mengakomodasi hak pilih, bahkan tidak ada alasan untuk tidak mengembalikan hak pilih itu sendiri (International IDEA, 2011). Keadilan pemilu bukan semata soal memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih dan bisa menggunakan hak pilihnya di hari H pemilihan.
Namun, juga soal bagaimana hak pilih itu disalurkan sesuai kehendak bebas pemilih, tanpa intervensi, pengaruh materi, imingiming, ataupun intimidasi. Inilah yang acapkali gagal diwujudkan pemilu kita. Dan, ini terjadi salah satunya karena praktik politik uang yang hari ke hari makin jadi momok dan virus mematikan bagi praktik berpemilu. Uang menjadi faktor dominan nan ampuh sebagai alat dan cara memenangkan pemilihan.
Kaderisasi yang tidak berjalan, rekrutmen yang elitis, dominasi oligarki pemilik modal di struktur partai, dan ongkos kampanye yang mahal membuat uang dipilih sebagai jalan pintas untuk menang pemilu. Politik uang menjadi kejahatan luar biasa yang dilaknat, tapi tetap diminati oknum politik sebagai ”solusi” dalam pemilu. Ini menjadi kegelisahan yang mendesak dicarikan solusinya.
Kegelisahan yang juga jadi tantangan pembuat undangundang saat melakukan revisi atas Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Terkait ini, diberitakan bahwa Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR dalam Revisi UU Pilkada menyepakati untuk menguatkan kewenangan Bawaslu.
Dengan kewenangan yang baru, Bawaslu bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku politik uang. Penindakan pelanggaran hukum selama pilkada bisa lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama (KORAN SINDO , 27/4).
Pembatalan Calon
Dalam pengaturan sebelumnya bukan tidak ada sanksi administrasi atas praktik politik uang. Pasal 47 ayat (5) UU No 1 Tahun 2015 menyatakan, setiap orang atau lembaga yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota dibatalkan.
Selanjutnya Pasal 73 ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa calon dan/ atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Namun, ketentuan tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan sebab pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht ). Bawaslu sebagai pengawas juga penerima laporan pelanggaran pemilu/pilkada tidak otonom dalam menegakkan ketentuan di atas.
Alih-alih mencapai kesepahaman soal proses pidana atas laporan politik uang, Bawaslu seringkali berbeda pendapat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Jika tidak tercapai kesepahaman, otomatis laporan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan. Artinya, sanksi administrasi politik uang juga tidak mungkin untuk diterapkan.
Menjadi keinsyafan bahwa efek jera atas praktik politik uang tak cukup hanya dengan menghukum si pemberi dan penerima (sebagaimana pengaturan dalam draf revisi UU Pilkada usulan pemerintah saat ini). Sanksi pidana badan (kurungan/ penjara) atau denda tak akan pernah memberi dampak jera kepada para pelaku.
Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Ramlan Surbakti, guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, peserta pemilihan hanya takut pada dua hal, yaitu tidak bisa menjadi peserta pemilu (entah tidak lolos atau dibatalkan) dan ditinggalkan oleh pemilih. Peserta pemilihan, calon, juga tim kampanye, akan jera kalau hukum secara tegas bisa mengeliminasi mereka dari proses kompetisi dan melarang mereka menjadi/mengusung calon di pemilu/pilkada berikutnya.
Agar sanksi administratif ini bisa efektif ditegakkan, penjatuhannya tidak perlu menunggu ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana selama ini dipraktikkan. Mekanismenya, sanksi administrasi diputuskan oleh Bawaslu RI berdasar temuan langsung di lapangan atau atas rekomendasi Bawaslu provinsi.
Mengapa sanksi administrasi ini hanya bisa diputuskan oleh Bawaslu RI adalah untuk betul-betul memastikan agar sanksi ini dijatuhkan tidak asal-asalan, tidak mudah diintervensi oleh aktor lokal, dan menjaga konsistensi dalam penerapannya di seluruh wilayah.
Rekomendasi dibuat berdasar alat bukti yang sangat kuat dan cukup, terang benderang, dan nyata-nyata tidak dapat dibantah bahwa telah terjadi praktik politik uang yang dilakukan calon, partai pengusung, dan/ atau tim kampanye (resmi ataupun tidak resmi) yang bisa dibuktikan terhubung dengan pasangan calon/ partai politik pengusung. Atas rekomendasi Bawaslu ini, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti dan melaksanakan karena sifatnya final dan mengikat.
Kompetensi dan Sumber Daya
Kewenangan eksekutorial ini penguatan paling konkret atas eksistensi Bawaslu sebagai badan pemutus yang sejak lama diminta. Namun, penguatan kewenangan saja tidak cukup. Kewenangan baru ini harus diperkuat dengan kemampuan pengusutan dan pengkajian perkara oleh Bawaslu dan akses pada lembaga lain yang mampu menelusuri aliran uang dan transaksi ilegal pilkada.
Untuk optimalisasi, kewenangan baru Bawaslu harus diikuti dengan pembenahan kompetensi dan sumber daya. Kompetensi berkaitan antara lain dengan seberapa besar kewenangan Bawaslu bisa memaksa kepatuhan pihak lain. Seberapa besar aksesnya pada data perbankan dan transaksi keuangan.
Lalu, seberapa mampu dia melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan seperti pendidikan, penyuluhan, ataupun penyitaan. Tak kalah pentingnya, seberapa banyak staf dan dana yang tersedia. Berkaitan dengan kemampuan memaksa kepatuhan dan dimensi pencegahan, India bisa jadi contoh. KPU India misalnya boleh menyita uang tunai lebih dari USD1.000 yang dipegang seseorang tanpa alasan yang jelas selama masa kampanye pemilu.
Sejauh ini (sejak 4 Maret), lebih dari USD100 juta telah disita di lima negara bagian yang sedang menyelenggarakan pemilu (Adhy Aman, 2016). Selain itu, untuk efektivitas penegakan hukum, pengaturan politik uang mestinya tidak sekadar mencakup praktik jual beli suara (vote buying ).
Definisi politik uang juga harus mencakup praktik jual beli tiket pencalonan/ mahar politik pencalonan (candidacy buying) dan praktik menyuap penyelenggara/ hakim pemutus sengketa dalam rangka memanipulasi proses/ hasil pilkada. Dengan pengaturan politik uang yang semakin komprehensif, diharapkan keadilan pemilu benar-benar bisa terwujud.
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Sumber: PERLUDEM